Senin, 15 Februari 2016

Sudah Ingin Menikah atau Sudah Siap Menikah?

"Riksa, sudah siap menikah? Siap dan pengen itu beda yaa :)"

Kurang lebih seperti itulah pertanyaan yang dilontarkan murabbi kepadaku (pementor). Sederhana, tapi ngena. Mungkin sebagian orang menganggap 'siap' itu adalah sudah matang usianya, mapan finansialnya, sudah terkumpul modalnya (emang mau buka usaha), sudah lulus kuliahnya (sejak kapan syarat nikah harus lulus kuliah dulu), dan lain sebagainya. Memang benar, tapi ada yang lebih penting dari itu, apa? 'Ilmu'.

Jika ingin menjadi guru, dokter, dan polisi saja ada sekolahnya, masa untuk menjadi seorang istri/suami gak ada sekolahnya? Sekarang sih ada yang namanya sekolah pra nikah seperti di Salman ITB dll, fikih nikah juga udah banyak dicetak dalam bentuk buku. So jangan khawatir, zaman sekarang mah apapun yang kita butuhkan udah disediakan, tinggal kitanya mau/engga.

Kalau aku, selain baca buku, les juga sama ibu. Mulai dari belajar masak, beres-beres rumah, mengatur keuangan, sampe cara menawar barang kalo lagi belanja ke pasar. Tapi aku orangnya moody-an, kalau udah datang rasa males, yaudah jadi males ngapa-ngapain. Males masak, males beres-beres, males tidur, males makan, untung gak males nafas.

Di rumah aku punya 2 orang adik dan 1 orang ayah. Mereka semua laki-laki. Kata ibu, sebelum kamu menghadapi suami, belajar dulu menghadapi ke-3 laki-laki itu. Kalau masih sering berantem, artinya kamu belum lulus. Yaa itung-itung simulasi kali yaa.

"Adik-kakak yang terlahir dan dididik oleh orangtua yang sama saja pasti banyak berantemnya, entah itu karena beda pengertian atau beda keinginan. Apalagi dengan pasangan nanti, yang terlahir dan dididik oleh orangtua yang berbeda." -Ibu

Kaki itu sepasang, ada kanan dan kiri. Mereka hidup saling berdampingan, dan melangkah dengan tujuan yang sama, yaitu ke depan. Meski begitu, bukan berarti kaki kanan dan kiri harus melangkah secara bersamaan (seperti langkah pocong). Tetap saja, kalau kaki kanan di depan, kaki kiri di belakang, dan begitu seterusnya bergerak secara bergantian. Artinya, meski suami dan istri memiliki tujuan yang sama, tapi prakteknya tidak harus sama semuanya. Masing-masing punya cara, hargai saja. Selagi apa yang dilakukan tidak melanggar syari'at.

Rel kereta api itu ada 2 sisi yang saling berdampingan. Dari dulu, mereka tidak pernah bersatu (paanggang) *kalau bersatu, bukan rel namanya tapi batang besi biasa. Karena mereka tidak bersatu itulah yang menyebabkan kereta api bisa berjalan dan sampai ke tujuannya. Begitu pula dengan hubungan suami dan istri. Meski hidup bersama, cara pandang dan cara berpikir mereka belum tentu sama.

"Menikah itu menyatukan 2 karakter, 2 pola pikir, dan 2 latar belakang"

Selain menyatukan 2 orang, menikah juga menyatukan 2 keluarga. Banyak film-film yang menceritakan perihal kehidupan mertua & menantu. Uniknya, karakter mertua itu selalu menggambarkan orang yang nyebelin, cerewet, banyak ikut campur, jahat, dsb. Jujur saja, kasus-kasus seperti itu membuat aku jadi parno sendiri. Memang hanya film, tapi film juga kan terinspirasi dari kisah nyata, hanya lebih didramatisir aja.

Hmmm sekarang kan aku kuliah di Bandung, aku punya ua yang tinggal di Bandung juga. Kalau weekend aku sering pulang ke sana. Lagi-lagi simulasi, kata ibu aku harus belajar memposisikan diri sebagai seorang menantu yang sedang tinggal di rumah mertuanya. Seperti jangan tidur lagi kalo udah sholat subuh, bantuin beres-beres rumah, bantuin masak, bantuin ngabisin makanan (yang ini bonus).

Selain ilmu, persiapan mental juga gak kalah penting. Jangan mentang-mentang sekarang banyak publik figur (bukan artis doang yaa) yang menikah muda, banyak meme yang manas-manasin kita buat segera menghalalkan/dihalalkan si dia, atau mungkin lingkungan teman-teman kita sudah banyak yang menikah juga. Akhirnya semua itu membuat kita jadi gak mau ketinggalan dan ingin ikut-ikutan. Padahal secara pribadi, mental kitanya mah belum siap sama sekali. Waaaah itu juga bahaya. Ternyata menikah tidak semudah beli bala-bala di Mak Konih yaaa.

Sekarang usiaku sudah menginjak 21, menurut ilmu Psikologi yang kupelajari, usia 21 itu termasuk ke dalam kategori dewasa dini, dengan tugas perkembangannya adalah mencari pasangan hidup dan membina rumah tangga. Jadi yaa emang udah saatnya hehehe. Entahlah, manusia hanya bisa berdoa dan berencana, Allah yang menentukan. Semoga Allah memberikan kebaikan untuk kita di mana pun juga dan menjadikan kita ridha menerimanya. Aamiin :)

Jumat, 12 Februari 2016

Kau, Jawaban atau Hanya Sebatas Ujian

Skenario Allah itu selalu indah, meski kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi setelah ini, dan apa yang akan terjadi dengan kita di kemudian hari. Tak apa, karena aku selalu menunggu kejutan-kejutan manis dari-Nya. Apa pun itu, aku selalu percaya bahwa endingnya pasti akan happiness.

Dan kamu, iya kamu. Aku mohon menjauhlah, karena aku mulai memikirkanmu. Aku tahu ini hanya ilusi, tidak pasti. Masih mengawang-awang, dan tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Hidup memang teka-teki. Apa hanya aku yang merasakan ini? Bagaimana denganmu?

Kau harus tahu, bagaimana rasanya meminta keyakinan dalam mengambil sebuah keputusan. Setelah aku yakin, tiba-tiba kau datang membawa sebuah cerita yang ingin dibagi. Mungkinkah ini jawaban? Atau hanya sebatas ujian?

Jika memang ujian, tolong pergilah! Pergi jauh-jauh dan jangan kembali lagi. Jangan menggangguku, jangan mengganggu pikiranku. Agar aku bisa fokus untuk ikhlas, agar jawaban yang sebenarnya bisa datang dalam keadaan hati yang sedang lapang. 

Kamis, 04 Februari 2016

Kenapa Suka Nulis Meski Gak Suka Baca?

Kenapa aku suka nulis? Kenapa yaaa, padahal aku gak suka baca buku, kecuali buku pelajaran, itu pun setiap mau UTS sama UAS doang, terpaksa lagi. Nih yah, saking gak suka baca, ibuku selalu bilang,

"Riksa coba deh ditarget, sehari 1/2 jam aja buat baca buku. Atau nih, ibu udah menandai judul-judul yang penting buat kamu baca. Jadi kamu baca yang udah ibu tandai aja!"

Boro-boro 1/2 jam, 5 menit kemudian buka gadget, 5 menit berikutnya lapar pengen ngemil, 5 menit berikutnya lagi ada acara keren di TV, gimana mau fokus? Sekalinya lulus 1/2 jam, gak istiqomah, paling cuma bertahan 1-2 hari, hari berikutnya kembali lagi ke alam jahiliyah. 

Aku tuh kalo baca buku pilih-pilih banget, kalo emang judul sama visualisasinya menarik dan cocok sama aku sih semangat banget buat baca. 1-2 hari juga bisa beres. Paling suka itu kalau bukunya bercerita perihal cinta, kehidupan berumahtangga, sama cara mendidik anak *eh 

Berawal dari nulis diari kali ya. Sejak SD aku emang suka banget nulis diari, mulai dari nyeritain temen yang nyebelin, cinta monyet, atau karena dimarahin ibu sampe gak dikasih uang jajan seminggu. Sekarang juga masih ada tuh diari zaman SD, kalau baca lagi rasanya pengen muntah. Alay banget tauuuuuu, parah ternyata aku pernah sealay itu.

Tapi kalau dipikir-pikir, bakat nulis aku tuh sebenarnya diwarisi dari ibu sama papah. Aku baru nyadar ketika ibu ngasih surat saat aku berulang tahun, gileeeee itu suratnya puitis banget, bikin nangis bombay. Kalau papah, dulu pas masih SD kan ada tugas bikin puisi tuh dari guru, nah aku minta diajarin sama papah. Meski ujung-ujungnya bukan diajarin tapi dibikinin *eh.